Sosok pria ini memang jarang muncul dipublik, namun siapa sangka pria
satu ini merupakan sosok dibalik layar suksesnya Obama terpilih kembali
menjadi Presiden Amerika Serikat. Mungkin banyak yang belum mengenal sosok Pria ini. Dia adalah Adryan Fitra pria ini juga menjadi tim sukses Jokowi JK dalam Pemilu 2014 lalu. Adryan memiliki lebih dari 200 akun di medsos
Tahun 2008 Adryan pernah menjadi Tim Sukses Obama, saat itu ia terpilih setelah sebelumnya mengikuti sebuah kompetisi. Akhirnya ia di-hire oleh digital team Obama untuk bergabung. Adryan merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat komisi Rp 1 miliar dari Google AdSense.
Selain itu pemuda asal Banda Aceh ini juga menjadi satu-satunya digital campaigner dalam tim sukses Jokowi-JK.
Pria yang pernah bekerja di Google Singapura tersebut mengungkapkan, kiprahnya di bidang digital campaigner untuk Jokowi berawal ketika dirinya berkarir di Negeri Paman Sam untuk membantu tim sukses Presiden Barack Obama.
Pada 2009, ketika mengunjungi Indonesia, Obama sempat bercerita kepada SBY bahwa ada orang Indonesia yang membantunya untuk memenangi pilpres di AS. Karena kepiawaian dan kerja kerasnya itu, Adryan ditawari bekerja di Markas Besar Departemen Pertahanan AS di Pentagon.
Kini Adryan memiliki 11 vila dan 38 resor yang beroperasi di Garut. Selain itu, ada 55 showroom mobil yang dikelola melalui laman mobilgarut.com.
Adryan yang kini berupaya mendapat beasiswa S-3 dari Universitas Indonesia tengah memprakarsai Wirausaha Pelajar Indonesia. Gerakan tersebut merupakan pembinaan kewirausahaan bagi pelajar di seluruh Indonesia.
Tahun 2008 Adryan pernah menjadi Tim Sukses Obama, saat itu ia terpilih setelah sebelumnya mengikuti sebuah kompetisi. Akhirnya ia di-hire oleh digital team Obama untuk bergabung. Adryan merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat komisi Rp 1 miliar dari Google AdSense.
Selain itu pemuda asal Banda Aceh ini juga menjadi satu-satunya digital campaigner dalam tim sukses Jokowi-JK.
Pria yang pernah bekerja di Google Singapura tersebut mengungkapkan, kiprahnya di bidang digital campaigner untuk Jokowi berawal ketika dirinya berkarir di Negeri Paman Sam untuk membantu tim sukses Presiden Barack Obama.
Pada 2009, ketika mengunjungi Indonesia, Obama sempat bercerita kepada SBY bahwa ada orang Indonesia yang membantunya untuk memenangi pilpres di AS. Karena kepiawaian dan kerja kerasnya itu, Adryan ditawari bekerja di Markas Besar Departemen Pertahanan AS di Pentagon.
Kini Adryan memiliki 11 vila dan 38 resor yang beroperasi di Garut. Selain itu, ada 55 showroom mobil yang dikelola melalui laman mobilgarut.com.
Adryan yang kini berupaya mendapat beasiswa S-3 dari Universitas Indonesia tengah memprakarsai Wirausaha Pelajar Indonesia. Gerakan tersebut merupakan pembinaan kewirausahaan bagi pelajar di seluruh Indonesia.
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
PILIHAN HEADLINE
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca
: Komentar : Nilai :
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
Menikmati kemerdekaan
Oleh Tabrani Yunis
Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti
sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah
daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat
menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah,
bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa
menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang
cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan.
Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin
besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang
kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh
sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan
jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut.
Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang
beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan
beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke
sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa
menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan
perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar,
workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat
kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan,
tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh.
Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace
builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak,
lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah
menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang
kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri
pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada
status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih
kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili.
Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi
bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah
tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan
kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat
aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan
di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste
menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012,
sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang,
cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi
mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk
menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi
terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan
dalam sebuah catatan singkat ini.
Dili dalam debut ekonomi
Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat
Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali,
mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah
bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung
memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya
bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi
di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara
Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah
negara yang pernah aku kunjungi.
Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang
itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah
negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh
dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan.
Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang,
aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman
dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut.
Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama
dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer
dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan
PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu.
Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara,
sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru
tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada
pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia.
Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang.
Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor
Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan
kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian
Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah
penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili
kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat
itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari
mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari
Jakarta, atau jauh dari Aceh.
Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana
layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi
menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat
adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur
mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya.
Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau.
Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili
Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi
alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan
datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di
Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat
Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan
bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air
seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan
kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering
tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair,
di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau
sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro
yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota
Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil
yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya
debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai
tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative
kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu
merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang
selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini.
Kunjungan ke Ba Futuru
Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan
lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia
Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping
untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi
dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk
kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan
best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi.
Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4
selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah
mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor
pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke
sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada
anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah
disediakan oleh panitia.
Generasi masa depan Timor Leste
Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang
perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan
dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku
liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping
kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh,
semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang
dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas
ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir
jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa,
tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian.
Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir
jalan.
Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan
yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan
yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang
dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil
menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada
sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan
ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari
mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya
setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali
menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang
sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor.
Singgah di Moris Art Galeria
Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru
mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama
seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah
sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan
pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art
Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris
artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang
sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak
segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab
sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku
sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang
Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya
menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak
lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan
di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai
berphoto kami meninggalkan gedung itu.
Gedung seni untuk mengekspresi diri
tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan
panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk,
yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang
pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan
Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari
arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi
yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia
tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika
dibangun baru bagian atas akan dipangkas.
Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai
yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti
dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan
Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak,
kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu
dari badan sungai tersebut.
Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan
bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya.
bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan
untuk kemudian diaspal.
Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau
panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput
dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang
menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati
dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi
bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang
menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang
dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya
Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri
yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang
masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah
Negara yang baru merdeka.
Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia,
yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan
persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari
Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor
Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang
relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil,
Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan
dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia.
Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang
atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada
di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan
kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh
saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di
Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang
letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh
banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang
asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang
mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat
kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang
menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih
berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan
bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan
Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan,
menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun,
saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri,
yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor
Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata
orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa
terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi
ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari
kemerdekaan Timor Leste.
Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim
kemarau.
Banda Aceh, 15 September 2015
Tabrani Yunis
/tabraniyunis
TERVERIFIKASI (HIJAU)
Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and
Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET,
menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi
berbagai training bagi kaum perempuan.
Selengkapnya...
IKUTI
Share
99
Memuat...
Memuat...
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional
Headline
Nilai Tertinggi
Terpopuler
Tren di Google
Gres
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
PILIHAN HEADLINE
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca
: Komentar : Nilai :
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
Menikmati kemerdekaan
Oleh Tabrani Yunis
Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti
sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah
daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat
menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah,
bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa
menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang
cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan.
Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin
besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang
kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh
sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan
jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut.
Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang
beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan
beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke
sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa
menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan
perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar,
workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat
kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan,
tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh.
Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace
builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak,
lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah
menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang
kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri
pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada
status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih
kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili.
Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi
bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah
tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan
kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat
aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan
di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste
menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012,
sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang,
cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi
mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk
menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi
terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan
dalam sebuah catatan singkat ini.
Dili dalam debut ekonomi
Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat
Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali,
mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah
bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung
memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya
bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi
di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara
Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah
negara yang pernah aku kunjungi.
Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang
itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah
negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh
dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan.
Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang,
aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman
dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut.
Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama
dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer
dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan
PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu.
Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara,
sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru
tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada
pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia.
Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang.
Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor
Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan
kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian
Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah
penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili
kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat
itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari
mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari
Jakarta, atau jauh dari Aceh.
Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana
layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi
menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat
adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur
mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya.
Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau.
Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili
Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi
alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan
datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di
Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat
Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan
bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air
seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan
kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering
tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair,
di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau
sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro
yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota
Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil
yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya
debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai
tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative
kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu
merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang
selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini.
Kunjungan ke Ba Futuru
Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan
lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia
Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping
untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi
dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk
kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan
best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi.
Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4
selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah
mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor
pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke
sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada
anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah
disediakan oleh panitia.
Generasi masa depan Timor Leste
Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang
perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan
dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku
liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping
kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh,
semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang
dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas
ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir
jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa,
tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian.
Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir
jalan.
Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan
yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan
yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang
dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil
menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada
sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan
ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari
mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya
setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali
menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang
sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor.
Singgah di Moris Art Galeria
Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru
mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama
seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah
sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan
pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art
Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris
artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang
sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak
segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab
sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku
sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang
Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya
menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak
lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan
di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai
berphoto kami meninggalkan gedung itu.
Gedung seni untuk mengekspresi diri
tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan
panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk,
yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang
pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan
Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari
arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi
yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia
tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika
dibangun baru bagian atas akan dipangkas.
Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai
yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti
dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan
Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak,
kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu
dari badan sungai tersebut.
Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan
bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya.
bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan
untuk kemudian diaspal.
Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau
panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput
dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang
menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati
dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi
bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang
menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang
dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya
Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri
yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang
masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah
Negara yang baru merdeka.
Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia,
yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan
persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari
Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor
Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang
relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil,
Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan
dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia.
Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang
atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada
di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan
kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh
saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di
Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang
letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh
banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang
asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang
mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat
kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang
menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih
berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan
bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan
Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan,
menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun,
saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri,
yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor
Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata
orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa
terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi
ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari
kemerdekaan Timor Leste.
Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim
kemarau.
Banda Aceh, 15 September 2015
Tabrani Yunis
/tabraniyunis
TERVERIFIKASI (HIJAU)
Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and
Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET,
menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi
berbagai training bagi kaum perempuan.
Selengkapnya...
IKUTI
Share
99
Memuat...
Memuat...
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional
Headline
Nilai Tertinggi
Terpopuler
Tren di Google
Gres
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Terbaru
Headline
Rubrik
Event
Masuk
PILIHAN HEADLINE
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca
: Komentar : Nilai :
Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya
Menikmati kemerdekaan
Oleh Tabrani Yunis
Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti
sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah
daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat
menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah,
bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa
menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang
cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan.
Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin
besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang
kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh
sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan
jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut.
Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang
beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan
beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke
sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa
menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan
perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar,
workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat
kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan,
tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh.
Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace
builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak,
lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah
menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang
kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri
pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada
status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih
kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili.
Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi
bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah
tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan
kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat
aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan
di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste
menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012,
sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang,
cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi
mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk
menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi
terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan
dalam sebuah catatan singkat ini.
Dili dalam debut ekonomi
Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat
Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali,
mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah
bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung
memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya
bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi
di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara
Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah
negara yang pernah aku kunjungi.
Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang
itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah
negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh
dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan.
Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang,
aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman
dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut.
Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama
dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer
dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan
PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu.
Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara,
sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru
tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada
pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia.
Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang.
Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor
Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan
kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian
Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah
penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili
kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat
itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari
mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari
Jakarta, atau jauh dari Aceh.
Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana
layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi
menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat
adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur
mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya.
Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau.
Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili
Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi
alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan
datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di
Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat
Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan
bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air
seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan
kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering
tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair,
di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau
sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro
yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota
Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil
yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya
debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai
tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative
kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu
merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang
selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini.
Kunjungan ke Ba Futuru
Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan
lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia
Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping
untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi
dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk
kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan
best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi.
Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4
selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah
mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor
pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke
sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada
anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah
disediakan oleh panitia.
Generasi masa depan Timor Leste
Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang
perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan
dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku
liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping
kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh,
semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang
dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas
ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir
jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa,
tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian.
Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir
jalan.
Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan
yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan
yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang
dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil
menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada
sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan
ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari
mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya
setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali
menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang
sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor.
Singgah di Moris Art Galeria
Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru
mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama
seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah
sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan
pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art
Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris
artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang
sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak
segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab
sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku
sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang
Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya
menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak
lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan
di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai
berphoto kami meninggalkan gedung itu.
Gedung seni untuk mengekspresi diri
tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan
panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk,
yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang
pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan
Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari
arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi
yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia
tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika
dibangun baru bagian atas akan dipangkas.
Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai
yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti
dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan
Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak,
kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu
dari badan sungai tersebut.
Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan
bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya.
bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan
untuk kemudian diaspal.
Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau
panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput
dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang
menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati
dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi
bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang
menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang
dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya
Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri
yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang
masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah
Negara yang baru merdeka.
Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia,
yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan
persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur,
Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari
Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor
Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang
relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil,
Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan
dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia.
Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang
atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada
di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan
kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh
saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di
Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang
letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh
banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang
asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang
mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat
kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang
menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih
berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan
bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak
lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan
Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan,
menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun,
saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri,
yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor
Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata
orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa
terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi
ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari
kemerdekaan Timor Leste.
Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim
kemarau.
Banda Aceh, 15 September 2015
Tabrani Yunis
/tabraniyunis
TERVERIFIKASI (HIJAU)
Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and
Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET,
menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi
berbagai training bagi kaum perempuan.
Selengkapnya...
IKUTI
Share
99
Memuat...
Memuat...
KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI
TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional
Headline
Nilai Tertinggi
Terpopuler
Tren di Google
Gres
Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Merit Casino Review - Get free coins and 200 free
BalasHapusMerit Casino is an online casino that accepts 제왕카지노 US players from the US. Read our full 메리트카지노총판 review and get septcasino your coins in the best place for