Orang Indonesia pertama yang mendapat komisi Rp 1 miliar dari Google AdSense.

Sosok pria ini memang jarang muncul dipublik, namun siapa sangka pria satu ini merupakan sosok dibalik layar suksesnya Obama terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat. Mungkin banyak yang belum mengenal sosok Pria ini. Dia adalah Adryan Fitra pria ini juga menjadi tim sukses Jokowi JK dalam Pemilu 2014 lalu. Adryan memiliki lebih dari 200 akun di medsos

Tahun 2008 Adryan pernah menjadi Tim Sukses Obama, saat itu ia terpilih setelah sebelumnya mengikuti sebuah kompetisi. Akhirnya ia di-hire oleh digital team Obama untuk bergabung. Adryan merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat komisi Rp 1 miliar dari Google AdSense.

Selain itu pemuda asal Banda Aceh ini juga menjadi satu-satunya digital campaigner dalam tim sukses Jokowi-JK.

Pria yang pernah bekerja di Google Singapura tersebut mengungkapkan, kiprahnya di bidang digital campaigner untuk Jokowi berawal ketika dirinya berkarir di Negeri Paman Sam untuk membantu tim sukses Presiden Barack Obama.

Pada 2009, ketika mengunjungi Indonesia, Obama sempat bercerita kepada SBY bahwa ada orang Indonesia yang membantunya untuk memenangi pilpres di AS. Karena kepiawaian dan kerja kerasnya itu, Adryan ditawari bekerja di Markas Besar Departemen Pertahanan AS di Pentagon.

Kini Adryan memiliki 11 vila dan 38 resor yang beroperasi di Garut. Selain itu, ada 55 showroom mobil yang dikelola melalui laman mobilgarut.com.

Adryan yang kini berupaya mendapat beasiswa S-3 dari Universitas Indonesia tengah memprakarsai Wirausaha Pelajar Indonesia. Gerakan tersebut merupakan pembinaan kewirausahaan bagi pelajar di seluruh Indonesia.

Add caption
Terbaru Headline Rubrik Event Masuk PILIHAN HEADLINE Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya 15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca : Komentar : Nilai : Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya Menikmati kemerdekaan Oleh Tabrani Yunis Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah, bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan. Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut. Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar, workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan, tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh. Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak, lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili. Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012, sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang, cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan dalam sebuah catatan singkat ini. Dili dalam debut ekonomi Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali, mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah negara yang pernah aku kunjungi. Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan. Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang, aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut. Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu. Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara, sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia. Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang. Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari Jakarta, atau jauh dari Aceh. Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya. Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau. Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair, di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini. Kunjungan ke Ba Futuru Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi. Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4 selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah disediakan oleh panitia. Generasi masa depan Timor Leste Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh, semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa, tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian. Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir jalan. Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor. Singgah di Moris Art Galeria Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai berphoto kami meninggalkan gedung itu. Gedung seni untuk mengekspresi diri tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk, yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika dibangun baru bagian atas akan dipangkas. Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak, kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu dari badan sungai tersebut. Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya. bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan untuk kemudian diaspal. Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah Negara yang baru merdeka. Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia, yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil, Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia. Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan, menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun, saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri, yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari kemerdekaan Timor Leste. Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim kemarau. Banda Aceh, 15 September 2015 Tabrani Yunis /tabraniyunis TERVERIFIKASI (HIJAU) Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan. Selengkapnya... IKUTI Share 99 Memuat... Memuat... KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional Headline Nilai Tertinggi Terpopuler Tren di Google Gres Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan

Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Terbaru Headline Rubrik Event Masuk PILIHAN HEADLINE Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya 15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca : Komentar : Nilai : Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya Menikmati kemerdekaan Oleh Tabrani Yunis Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah, bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan. Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut. Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar, workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan, tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh. Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak, lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili. Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012, sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang, cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan dalam sebuah catatan singkat ini. Dili dalam debut ekonomi Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali, mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah negara yang pernah aku kunjungi. Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan. Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang, aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut. Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu. Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara, sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia. Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang. Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari Jakarta, atau jauh dari Aceh. Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya. Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau. Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair, di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini. Kunjungan ke Ba Futuru Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi. Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4 selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah disediakan oleh panitia. Generasi masa depan Timor Leste Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh, semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa, tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian. Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir jalan. Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor. Singgah di Moris Art Galeria Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai berphoto kami meninggalkan gedung itu. Gedung seni untuk mengekspresi diri tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk, yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika dibangun baru bagian atas akan dipangkas. Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak, kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu dari badan sungai tersebut. Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya. bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan untuk kemudian diaspal. Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah Negara yang baru merdeka. Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia, yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil, Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia. Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan, menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun, saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri, yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari kemerdekaan Timor Leste. Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim kemarau. Banda Aceh, 15 September 2015 Tabrani Yunis /tabraniyunis TERVERIFIKASI (HIJAU) Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan. Selengkapnya... IKUTI Share 99 Memuat... Memuat... KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional Headline Nilai Tertinggi Terpopuler Tren di Google Gres Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan

Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g
Terbaru Headline Rubrik Event Masuk PILIHAN HEADLINE Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya 15 September 2015 20:26:06 Diperbarui: 15 September 2015 21:37:20 Dibaca : Komentar : Nilai : Melihat Timor Leste Menikmati Kemerdekaannya Menikmati kemerdekaan Oleh Tabrani Yunis Traveling, siapa yang tidak suka dengan kegiatan yang satu ini? Pasti sangat banyak orang yang suka dengan akativitas jalan-jalan ke sebuah daerah atau bahkan ke luar negeri. Seperti halnya aku, juga sangat menyukai kegiatan jalan-jalan, baik di daerah maupun ke luar daerah, bahkan jalan-jalan ke luar negeri sekali pun. Biasanya, untuk bisa menikmati perjalanan atau traveling itu, membutuhkan kesiapan uang yang cukup. Tergantung fasilitas perjalanan seperti apa yang kita inginkan. Yang jelas, semakin jauh perjalanan yang ingin ditempuh, maka semakin besar biaya yang diperlukan. Semakin mewah fasilitas perjalanan yang kita inginkan, pasti semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.Oleh sebab itu, walau banyak sekali orang yang ingin bisa menikmati kegiatan jalan-jalan, tidak semua orang mampu mewujudkan keinginan tersebut. Alhamdulilah, aku merupakan salah satu dari sekian banyak yang beruntung dalam hal mengadakan perjalanan atau traveling. Dikatakan beruntung, karena hampir setiap perjalanan yang aku lakukan hingga ke sejumlah Negara di luar negeri, dibiayai oleh orang lain. Artinya, bisa menikmati perjalanan gratis. Hanya saja perjalanan itu merupakan perjalanan yang terangkai dalam sejumlah kegiatan seperti seminar, workshop, training dan lain-lain. Aku sangat bersyukur mendapat kesempatan itu, karena yang aku peroleh bukan saja nikmatnya perjalanan, tetapi banyak hal lain yang ku apat nikmati dan peroleh. Forum Pertemuan Para Pembangun Perdamaian ke 4 (4th Action Asia Peace builders forum) menambah panjang jalan yang aku tempuh. Betapa tidak, lewat acara tersebut, aku bisa terbang ke negeri yang dulu pernah menjadi wilayah Indonesia. Dulu, negara bekas penjajahan Portugis yang kemudian menjadi provinsi ke 33 dari Indonesia, dan memerdekakan diri pada tahun 1998 lewat jajak pendapat yang mengantarkan mereka pada status negera merdeka. Timur Leste, nama yang digunakan setelah lebih kurang 24 tahun menyandang nama Timor Timur, dengan ibu kotanya Dili. Sudah lama nian nama ini ada di dalam ingatan ku. Nama yang menjadi bagian dari pelajaran geografi, pelajaran politik, pelajaran sejarah tentunya. Sudah lama pula terbayang di angan untuk bisa melangkahkan kaki ke pulau Timor yang lama bergejolak tersebut. Alhamdulilah, berkat aktivitas berjaringan yang aku bangun selama ber LSM, rangkaian kegiatan di Action Asia Peace building forum itu membuat impian ke Timor Leste menjadi kenyataan. Aku mendapat peluang ke sana pada tahun 2012, sepulang aku dari Montreal, Canada yang juga di tahun 2012. Sayang, cerita tentang perjalanan itu tidak langsung aku tuliskan, tetapi mengendap di pikirab saja. Padahal, sudah lama keinginan untuk menuliskan cerita perjalanan ke negerinya Sanana Gusmao itu, tapi terkadang mood menulis itu hilang. Maka baru saat ini direalisasikan dalam sebuah catatan singkat ini. Dili dalam debut ekonomi Hari itu, tanggal 18 September 2012, Sekitar pukul 5 sore, pesawat Merpati yang ku tumpangi dari bandara Ngurah rai, Denpasar, Bali, mendarat mulus di bandara Dili. Saat mendarat, mataku menatapi wilayah bandara dari sudut kiri jendela pesawat. Pikiran ku yang nakal langsung memberi kesan yang kurang wah. " kecil sekali dan miskin seekali ya bandara orang Timur Leste" begitulah tergurat dalam pikiran dan berdesi di mulutku. Rasanya sangat tidak pantas menjadi sebuah bandara Internasional, bila aku bandingkan dengan sejumlah bandara di sejumlah negara yang pernah aku kunjungi. Hmm, daerah yang kelihatannya kering ditumbuhi pohon kelapa dan pisang itu, memberikan nuansa betapa Negara Timor Leste itu, sebagai sebuah negara kecil dan baru itu, memperlihatkan tingkat kemakmuran yang jauh dari ideal. Pesawat masih belum berhenti dengan sempurna di landasan. Nah, ketika pesawat berhenti dan kami turun lewat tangga pintu belakang, aku berjalan menuju terminal, sambil berfoto ria dengan beberapa teman dari beberapa negara lain yang menjadi partisipan dari acara tersebut. Saat memasuki terminal, kami disambut oleh pengawas bandara yang nama dan wajah mereka bukan orang Timor Leste, tetapi wajah-wajah militer dari Malaysia, Singapore, Philipina dan lainnya. Mereka adalah pasukan PBB yang masih bertugas di Timor Leste saat itu. Usai mengurus visa on arrival, kami berkumpul di ruang tunggu bandara, sambil berrfoto ria dan bersalaman dengan rekan-rekan yang juga baru tiba. Kami sudah saling kenal, karena sudah saling bertemu pada pertemuan sebelumnya di Malaysia, Nepal, Sri Lanka dan Cambodia. Tak lama kemudian, bus yang akan mengantarkan kami ke hotel pun datang. Aku tidak naik bus, tetapi naik mobilnya Ato, sahabatku dari Timor Leste. Keluar dari bandara menuju hotel, melewati jalan yang kelihatan kumuh karena debu. Aku tertegun melihat kota yang pernah menjadi bagian Indonesia ini. Betapa tidak, negeri yang tebilang kecil dengan jumlah penduduk hanya sekitar 1 juta jiwa ini, dengan ibu kotanya Dili kelihatan bukan seperti sebuah negara. Ya, itu kataku dalam pikiran saat itu. Tentu tidak salah, bila pikiran dan ucapan itu keluar dari mulutku, karena aku sedang menyaksikan kota Dili dari Dili, bukan dari Jakarta, atau jauh dari Aceh. Aku melihat, Dili tidak memiliki infra struktur yang bagus sebagaimana layaknya ibu kota negara lainnya. Tidak ada bangunan yang tinggi menjulang, tidak ada bangunan megah. Pemandangan pertama yang ku dapat adalah betapa miskinnya negeri ini. Betapa buruknya infra struktur mereka dan betapa beratnya pula kehidupan ekonomi masyarakatnya. Ditambah lagi dengan kondisi daerah yang kering karena kemarau. Miskinnya sektor ekonomi masyarakat Dili Anehnya negeri Timor Leste dengan ibu kotanya Dili ini adalah kondisi alam yang terasa ekstrim. Dikatakan ekstrim, karena ketika musim hujan datang, maka banjir bisa melanda tiba-tiba. Karena kondisi gunung di Dili yang berbatu-batu, dan gersang yang tidak ada hutan lebat, membuat Dili bagai kota kering dan debu. Jalan-jalan yang dilewati dan bangunan- bangunan di pinggir jalan terlihat berdebu. Bahkan saluran air seperti parit- parit atau drainase di kota Dili semua dalam keadaan kering dan berdebu. Bukan hanya itu, sungai besar di kota Dili kering tanpa ada air setetes pun. Bayangkan saja, sungai yang biasanya berair, di Dili kering kerontang dan bisa dijadikan arena balapan mobil atau sepeda motor. Begitulah wajah kota Dili saat itu. Dari Jembatan Comoro yang panjang kita bisa buktikan bagaimana kekeringan itu melanda kota Dili. Sungai Comoro itu kering kerontang. Hanya ada batu- batu kerikil yang mememnuhi sungai. Tak nampak ada genangan air sedikit pun. Hanya debu yang terbang kala truk-truk atau mobil yang lewat dalam sungai tersebut, mengepulkan debu membumbung. Wajah kota Dili yang relative kecil itu, adalah wajah negeri yang miskin. Wajah kota Dili itu merupakan representasi kehidupan masyarakat Timor Leste. Wajah itu, yang selalu ada dalam ingatan dari kunjungan pertama ini. Kunjungan ke Ba Futuru Salah satu hal yang menarik dari pertemuan itu adalah kegiatan kunjungan lapangan, field visit. Setiap kali ada acara pertemuan Action Asia Forum ini, selalu saja ada kegiatan ini. Ini memang perlu, di samping untuk menyegarkan pikiran atau refreshing setelah banyak debat, diskusi dalam acara tersebut, kunjungan lapangan juga diperlukan untuk kepentingan study lapangan yang memperkaya pemahaman, pengetahuan dan best practice dari pengalaman lembaga atau organisasi yang dikunjungi. Oleh sebab itu, Sebagai bagian dari acara pertemuan Action Asia ke 4 selama beberapa hari di kota Dili, salah satu agenda kami adalah mengunjungi organisasi non pemerintah atau LSM yang bekerja untuk sektor pembangunan perdamaian. Aku bersama rekan-rekan peserta lain menuju ke sebuah LSM di kota itu. Ba Futuru, itulah nama LSM yang concern pada anak-anak dan perdamaian. Kami berangkat dengan bus yang sudah disediakan oleh panitia. Generasi masa depan Timor Leste Sebagaimana lazimnya, aku suka mengamati apa yang ada di sepanjang perjalanan, kemana pun aku pergi. Begitu pula saat menikmati perjalanan dari hotel ke Ba Futuru itu. Di sepanjang jalan menuju Ba Futuru, mataku liar, senang mengamati apa yang ada di samping kanan dan di samping kiri jalan. Tentulah dengan semakin panjang perjalanan yang ditempuh, semakin banyak hal yang bisa diamati dan dinikmati. Sepanjang jalan yang dilewati terlihat kondisi pasar yang sangat minim dengan fasilitas ekonomi. Banyak orang berjualan pakaian dengan memajangnya di pinggir jalan, bukan layaknya toko pakaian yang didekorasi sedemikian rupa, tetapi terlihat toko seperti kios-kios yang menjual berbagai pakaian. Bahkan lebih tebuka lagi, melihat pasar terbuka yang ada di pinggir jalan. Setiba di ba Futuru, aku dan rombongan disambut baik oleh rekan-rekan yang bekerja di lembaga Ba Futuru tersebut dengan penuh persahabatan yang hangat. Kami dijamu dengan makanan rebusan pisang, ubi kayu kacang dan jagung. Betap nikmat rasanya, makanan itu kami santap sambil menikmati diskusi tentang bagaimana mereka bekerja melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, khususnya untuk anak-anak. Di luar kantor ada sebuah panggung yang mereka siapkan untuk mengadakan pertujukan ketrampilan anak-anak dalam berekspresi. Kami bahkan ikut menari mengikuti irama lagu yang mereka nayanyikan di panggung itu. Akhirnya setelah beberapa jam menggali pengalaman Ba Futuru, kami semua kembali menuju hotel. Aku tidak pulang bersama rombongan, tetapi bersama seorang sahabat dari Timor Leste itu, aku menumpang naik sepeda motor. Singgah di Moris Art Galeria Ketika pulang dari kegiatan belajar tentang pengalaman LSM Ba Futuru mengelola konflik dan membangun perdamaian di kota Dili itu, aku bersama seorang rekan warga negera Timor Leste, menyempatkan diri untuk singgah sejenak di Moris Art Galeria, yang berdiri tegak di pinggir jalan pulang ke hotel yang tak jauh dari lokasi kantor Ba Futuru itu. Art Moris, yang dalam bahasa orang Timur Leste itu disebut arte Moris artinya Seni Hidup. Di sini, aku bertemu sekelompok orang muda yang sedang asyik mengerjakan pekerjaan seni mereka. Pertama sekali agak segan untuk bertemu mereka, namun kemudian dengan ramah mereka menjawab sapaan kami. Mereka pun mempersilakan duduk bersama mereka. Ya, aku sempat duduk dan memperkenalkan diri serta bercerita sedikit tentang Aceh. Mereka pun bertanya, mengapa Aceh tidak merdeka. Aku hanya menjawab, Aceh masih merasa tetap ingin terus bersama Indonesia. Tak lama kemudian, kami pamit setelah mengambil beberapa photo di dalam dan di luar gedung Arte Moris, yang menjadi gedung seni mereka. Usai berphoto kami meninggalkan gedung itu. Gedung seni untuk mengekspresi diri tak jauh dari gedung itu, kami tiba di jembatan Comoro, sebuah jembatan panjang yang menghubungkan dua desa, yakni desa Beto dan desa Bebonuk, yang terletak di kota Dili. Jembatan ini seperti diungkapkan seorang pemuda dari Dili yang menemani aku, adalah jembatan peninggalan Indonesia. Jembatan yang bisa dilalui dengan dua mobil sekalian dari arah berlawanan ini, saat itu akan dibangun lagi jembatan baru di sisi yang sudah ada. bedanya hanya kalau yang ditinggalkan oleh Indonesia tersebut adalah jembatan yang di bagian atasnya berangka besi, ketika dibangun baru bagian atas akan dipangkas. Apa yang menarik perhatian, tatkala melewati jembatan ini adalah sungai yang ada di bagian bawah jembatan itu. Biasanya sebuah sungai, pasti dialiri dengan air. Akan tetapi sungai di atasnya terdapat jembatan Komoro ini, kering kerontang. Tidak ada air setetes pun yang tampak, kecuali debu yang berterbangan, karena ada yang menggali pasir dan batu dari badan sungai tersebut. Nah, ketika kita berada di atas jembatan tersebut kita bisa menyaksikan bagaimana sungai tanpa air, tanpa ada kehidupan biota air di dalamnya. bahkan sungai itu bagaikan badan jalan yang batu dilakukan pengerasan untuk kemudian diaspal. Konon, musim kemarau baru berlangsung selama tiga bulan di Dili. Kemarau panjang itu merubah warna bukit yang pada musim hujan dipenuhi rumput dan semak belukar, berubah menjadi coklat dan hitam. Rumput-rumput yang menutupi tanah di bukit-bukit berbatu yang mengeliling kota Dili, mati dan kering. Bukan hanya rerumputan, bahkan pohon-pohon yang menutupi bukit-bukit berbatu itu pun kelihatan telanjang, karena dedaunan yang menjadi penyejuk, luluh dan kering. Hanya terlihat pohon-pohon yang dipenuhi ranting-ranting kering, seperti yang diukir dalam eleginya Ebiet G.Ade. Begitulah wajah Timor Leste yang aku lihat. Wajah negeri yang masih tampak miskin. Mungkin juga karena SDA dan SDM mereka yang masih belum terbangun dengan baik. Maklumlah, Timor Leste adalah sebuah Negara yang baru merdeka. Konon, dulu di saat Timor Leste masih menjadi bagian dari Indonesia, yang disebut Timor Timur itu sebenarnya memang tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Namun, setelah melepaskan diri dari Indonesia, dikabarkan bahwa Timor Leste bisa melaju lebih cepat. Timor Leste yang masih berstatus Negara baru ini memiliki penduduk yang relative kecil, yakni sekitar 1,2 juta jiwa. Walaupun penduduknya kecil, Timor-Leste masih dihadapkan dengan berbagai persoalan dan keterbatasan dalam bidang ekonomi serta kualitas sumber daya manusia. Timor Leste, tampaknya memang masih berada dalam kondisi serba kurang atau serba terbatas. Semua ini bisa kita lihat ketika kita sedang berada di kota Dili. Kota ini masih jauh perkembangannya dibandingkan dengan kota provinsi yang ada di Indonesia. Dibandingkan dengan kota Banda Aceh saja, kota Dili masih kalah. Kalau pun ada bangunan yang agak megah di Dili, bangunan-bangunan itu kebanyakan adalah bangunan Kedutaan yang letaknya lebih banyak di daerah dekat pantai itu. Kalau pun tumbuh banyak restoran dan café yang agak besar, konon pemiliknya bukan orang asli, tetapi milik para pengusaha dari luar. Apalagi, mata uang yang mereka gunakan menggunakan mata uang dolar. Bisa jadi, tingkat kesejahteraan mereka akan jauh tertinggal dibandingkan Negara lain yang menggunakan mata uang yang sama. Selain mata uang, Negara ini juga masih berada dalam dilemma penggunaan bahasa. Di satu sisi ingin menggunakan bahasa Indonesia, karena kebanyakan penduduknya, terutama anak-anak lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia disbanding bahasa Tetung dan Portugis. Ingin menggunakan bahasa Indonesia, gengsi berada di depan, menggunakan bahasa Portugis pun akan kesulitan untuk kemana-mana. Namun, saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali menggunakan bahasa sendiri, yakni Tetung. Bagi Timor Leste, apapun kondisinya saat ini, bangsa Timor Leste sudah menikmati kemerdekaannya, semoga saja tidak seperti kata orang dulu, keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Ini bisa terjadi, bila bangsa Timor Leste tidak terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka, serta mengurangi ketergantungan terhadap bangsa-bangsa yang ingin mencari keuntungan dari kemerdekaan Timor Leste. Hmm, inilah catatan kecil dari sebuah perjalanan ke Dili di musim kemarau. Banda Aceh, 15 September 2015 Tabrani Yunis /tabraniyunis TERVERIFIKASI (HIJAU) Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, menerbitkan majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan. Selengkapnya... IKUTI Share 99 Memuat... Memuat... KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL timorleste merdeka dolar ekonomi regional Headline Nilai Tertinggi Terpopuler Tren di Google Gres Tentang Kompasiana Syarat & Ketentuan

Selengkapnya : https://translate.googleusercontent.com/translate_c?depth=1&hl=en&ie=UTF8&prev=_t&rurl=translate.google.com&sl=en&tl=id&u=http://www.kompasiana.com/tabraniyunis/melihat-timor-leste-menikmati-kemerdekaannya_55f81c69e322bd220a28cf82&usg=ALkJrhhnP13l8CV2kTajv7xEPuH95uFe_g

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Orang Indonesia pertama yang mendapat komisi Rp 1 miliar dari Google AdSense."

  1. Merit Casino Review - Get free coins and 200 free
    Merit Casino is an online casino that accepts 제왕카지노 US players from the US. Read our full 메리트카지노총판 review and get septcasino your coins in the best place for

    BalasHapus